Kritik & saran positif silakan di email abd.kholik99@gmail.com / abd.kholik67@yahoo.com

Rabu, 26 Juli 2017

Pengertian, Ruang Lingkup dan Perkembangan Hukum Agraria

A.    Pengertian Hukum Agraria.

Kata Agraria berasal dari kata agrarius, ager (latin) atau agros (Yunani), Akker (Belanda) yang artinya tanah pertanian. Sedangkan menurut UUPA, agraria adalah sesuatu yang meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya . Bahkan di dalam pasal 48 UUPA dijelaskan meliputi ruang angkasa, yakni ruang di atas bumi, air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu. Pengertian Hukum Agraria ada beberapa pendapat antara lain :

1       Menurut  J.C.T. Simorangkir SH dkk dalam Kamus Hukum terbitan tahun 1972, adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur bumi, air dan ruang angkasa.

2       Menurut Subekti dan Tjitrosudibio R dalam Kamus Hukum terbitan tahun 1979, bahwa Hukum Agraria adalah keseluruhan dari pada ketentuan-ketentuan hukum perdata maupun Hukum Tata Negara (Staat recht) maupun pula Hukum Tata Usaha (Administratie recht) yang mengatur hubungan antara orang, termasuk badan hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan mengatur pula wewenang-wewenangnya

3       Menurut Balai Pustaka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan tahun 1990, bahwa Hukum Agraria adalah keseluruhan kaedah hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur bumi, air, dan ruang angkasa. 

4       Menurut Arie S Manulang, bahwa Hukum Agraria adalah seperangkat hukum yang mengatur hak penguasan atas sumber daya alam (natural resources) yang meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, bahkan batas yang ditentukan juga termasuk ruang angkasa.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa “hukum agraria adalah ketentuan-ketentuan atau kaidah, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kewenangan dan hubungan hukum antara  orang atau badan hukum dengan  bumi, air maupun ruang angkasa “


B. Ruang lingkup hukum agraria.

Yang termasuk ruang lingkup agraria, adalah bumi, air dan kekayan alam yang terkandung didalamnya serta ruang angkasa :

1. Bumi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat 4 UUPA meliputi permukaan bumi (tanah) dan tubuh bumi yang terdapat di bawah tanah dan dibawah air

2. Air, sebagaimana dimaksud pasal 1 ayat 5 dan pasal 47 UUPA termasuk didalamnya perairan pedalaman , seperti sungai, danau, rawa dan laut wilayah, serta laut teritorial Indonesia

3.  Kekayaan alam yang terkandung didalam bumi dan air sebagaimana dimasukd dalam pasal 1 dan 2 UUPA seperti bahan-bahan galian/ barang tambang, ikan, mutiara dan hasil laut lainnya

4.  Ruang angkasa , sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 UUPA

                          
C. Perkembangan Hukum Agraria di Indoesia

Hukum tanah di Indonesia mengalami perombakan pada saat berlakunya UUPA pada tgl. 24 September 1960, sehingga dapat dikatakan bahwa pada tgl. tsb. muncul pembaharuan Hukum Tanah yang berlaku di Indonesia.

Dengan demikian akan dibahas perkembangan hukum tanah sebelum UUPA No. 5 Th. 1960 dan sesudah berlakunya UUPA tersebut.

1  Hukum tanah lama sebelum UUPA

      Sebelum berlakunya UUPA No. 5 Th. 1960, pengaturan mengenai Hukum tanah di Indonesia tidak hanya terdapat dalam satu macam hukum saja, namun dapat dijumpai dari berbagai macam hukum yakni :

a.   Hukum Tanah Adat.

Hukum tanah adat merupakan hukum tidak tertulis dan sejak semula berlaku dikalangan masyarakat asli Indonesia sebelum datangnya bangsa-bangsa Portugis, Belanda, Inggris dan sebagainya

b. Hukum Tanah Barat

Hukum tanah barat mulai berlaku th. 1848 yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek (BW) atau KUH Per., yakni termuat dalam Buku II dengan judul Hak-hak atas tanah dan hak jaminan atas tanah , Buku III dengan judul Perihal Jual Beli dan dalam Buku IV dengan judul perihal Pembuktian dan Daluarsa.

Hukum tanah barat diberlakukan pada saat itu, karena banyak orang Belanda yang memerlukan tanah untuk :

1)    Perkebunan atau bangunan rumah peristirahatan (bungalow) di luar kota dengan hak erfpacht (psl. 720 BW) ;

2)    Rumah tinggal atau tempat usaha di dalam kota, lalu menguasai tanah dengan hak eigendom dan hak opstaal.

c.   Hukum Tanah Antar Golongan

Hukum tanah antar golongan, kaedah-kaedahnya tidak dalam bentuk peraturan perundang-undangn yang tertulis, tetapi berupa putusan-putusan pengadilan yang menjadi Yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum atau sarjana hukum. Namun, ada juga peraturan-pertaturan tertulis yang diciptakan untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan Hukum Tanah Antar Golongan.

Kaedah-kaedah dari Hukum Antar Golongan ini diciptakan dengan maksud untuk menyelesaikan hubungan antar golongan yang menyangkut masalah tanah sesuai dengan pembagian golongan penduduk Indonesia pada waktu itu yang tunduk pada hukum yang berbeda atas dasar ketentuan pasal 131 IS, dimana bagi :

1       Golongan Eropah dan Timur Asing, berlaku Hukum Barat ;

2       Golongan Bumiputra (Indonesia Asli) berlaku Hukum Adat.

      Hukum antar golongan timbul karena :

1)Sifat dualisme dalam hukum tanah yang berlaku semasa pemerintahan Hindia Belanda, dimana adanya hubungan-hubungan serta peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi antara orang-orang Indonesia Asli dengan bukan Indonesia asli  ;

2)   Tanah-tanah Eropah tidak hanya dipunyai oleh orang-orang bukan Indonesia (yang tunduk pada hukum barat) demikian pula pada tanah-tanah Indonesia tidak hanya dimiliki oleh orang-orang Indonesia Asli (yang tunduk ada hukum adat). Perlu jadi catatan, bahwa tanah-tanah hak barat tidaklah akan berubah statusnya menjadi tanah hak golongan lain, sekalipun dipunyai oleh subyek-subyek yang tunduk pada hukum yang berlainan .

d. Hukum Tanah Administrasi

Hukum tanah administrasi adalah keseluruhan peraturan yang memberi landasan hukum bagi penguasa atau negara untuk melaksanakan politik pertanahannya dan memberi wewenang-wewenang khusus kepada penguasa untuk melakukan tindakan-tindakan di bidang pertanahan.

Hukum tanah administrasi berlaku sebelum UUPA yakni merupakan ciptaan Pemerintah Kolonial Belanda yang terkenal dengan Agrarsiche Wet 1870. Sebelumnya berlaku Cultuur Stelsel (sistem tanam paksa) yang juga merupakan politik pertanahan yang dilancarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dimana rakyat Indonesia dipaksa untuk menanam tanaman yang dilaku dipasaran Eropah. Perbedaannya, bahwa Argraische Wet terbuka bagi pengusaha asing swasta, sedangkan cultuur stelsel  merupakan monooli Pemerintah Hindia Belanda.

e.   Hukum Tanah Swapraja

Hukum tanah swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku pada daerah swapraja seperti Kesultanan Yogyakarta, Surakarta dan Cirebon dan Deli. Hukum Tanah Swapraja ini pada dasarnya adalah hukum tanah adat yang diciptakan oleh Pemerintah Swapraja dan sebagian diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda Mis. Stbl. 1915 – 474 yang intinya memberi wewenang pada penguasa swapraja untuk memberikan tanahnya dengan hak-hak barat. Dalam konsiderans Stbl. 1915-474 ditegaskan bahwa di atas tanah-tanah yang terletak dalam wilayah hukum swaparaja dapat didirikan hak-hak kebendaan yang diatur dalam BW, seperti hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal dsb. Dimungkinkan pula untuk memberi tanah-tanah swapraja tersebut dengan hak-hak barat, terbatas pada orang-orang yang tunduk pada BW saja.

Dengan adanya 5 macam hukum tanah seperti tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa hukum tanah di Indonesia pada masa itu bersifat pluralistis Namun yang pokok adalah Hukum Tanah Barat dan Hukum Tanah Adat, selainnya hanya sebagai pelengkap

2.Macam Hak Atas Tanah di Indonesia dan Kaedah Pengaturannya Dalam Sistem Hukum Tanah sebelum UUPA.

      Tanah Hak Indonesia, yang diatur menurut Hk. Adat dalam arti luas, dimana kaedah-kaedahnya sebagian besar tidak tertulis yang diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Swapraja, yang semula berlaku bagi orang-orang Indonesia  Dengan demikian tanah hak Indonesia berdasarkan :

            1). Kaedah tidak tertulis yang berlaku lagi penduduk Asli sejak semula ;

                  2). Kaedah tertulis yang diciptakan oleh :

(a) Pemerintah Swapraja, misalnya peraturan    tertulis mengenai tanah di daerah Kasultanan Yogyakarta, Surakarta maupun Sumatra Timur ;

                        (b)     Pemerintah Hindia Belanda, yakni :

                                         (1) Hak Agrarisch Eigendom Stbl. 1872-117 Koninklijk Besluit) dan Stbl. 1873-39 (Ordonantie) ;

                                   (2) Grond Vervreemdings Verbod (larangan pengasingan tanah) Stbl. 1875-179

                  Mengenai peraturan tanah swapraja di Sumatra Timur, seperti halnya “Hak Grand Sultan” yakni suatu hak yang diberikan kepada kawula swapraja yang mirip dengan hak milik adat. Penggunaan istilah “grant” yang berasal dari bahasa Inggris ini diperkirakan karena latar belakang historis dimana terdapat hubungan kekeluargaan yang erat antara Sultan Sumatra Timur dengan Sultan Malaya yang dulunya merupakan tanah jajahan Inggris.

                        Peraturan-peraturan tertulis ciptaan pemerintah Swapraja tersebut di atas kita namakan Hukum Tanah Swapraja, yang merupakan Hukum Tanah Adat tertulis. Namun ada juga yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda  yang mengatur agar Pemerintah Swapraja memberikan tanahnya dengan Hak Barat, berdasarkan peraturan berbentuk Koninklijk Besluit yang diundangkan dalam Stbl. 1915-474. Peraturan ini dalam konsideranya menegaskan bahwa tanah-tanah yang terletak di Swapraja dapat dibebani hak-hak kebendaan yang diatur dalam KUH Perdata, mis. Hak eigendom, erfpacht dan opstal. Kemungkinan diberikannya hak-hak barat di atas tanah swapraja itu hanya terbatas pada orang-orang yang tunduk pada KUH Perdata. Sebagai contoh, di daerah Swapraja Yogyakarta sampai sekarang dapat kita jumpai tanah-tanah swapraja (seperti daerah Malioboro dan sekitarnya) yang diberikan dengan hak barat berdasarkan Stbl. 1915-474 ciptaan Pemerintah Hindia Belanda.

                        Walaupun pada prinsipnya tanah-tanah hak Indonesia tunduk pada hukum adat, akan tetapi tidak semua tanah Indonesia dibebani hak-hak asli yang berasal atau bersumber dari hukum adat Indonesia. Buktinya selain apa yang kita kenal sebagai hak ulayat, hak pakai, hak milik dalam masyarakat tradisional, ada pula hak grant sultan dan grant controleur ciptaan pemerintah swapraja, atau hak agrarisch eigendom ciptaan pemerintah Hindia Belanda, yaitu hak yang diperoleh atas ketentuan pasal 51 IS dan lebh lanjut diatur dalam Koninklijk Besluit yang diundangkan dalam Stbl. 1872117 serta Ordonantie yang diundangkan dalam Stbl. 1873-38.

      3. Hukum tanah baru setelah UUPA

Hukum tanah baru adalah hukum tanah yang diatur dalam UUPA No. 5 Th. 1960 yang berlaku secara universal bagi seluruh masyarakat Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar